KONFLIK yang terjadi di Aceh puluhan tahun lalu meninggalkan beragam cerita duka. Sementara qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KK...
KONFLIK yang terjadi di Aceh puluhan tahun lalu meninggalkan beragam cerita duka. Sementara qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) masih jauh dari harapan. Padahal, kelahiran qanun ini sangat dinantikan para korban, sebagai salah satu solusi bagi pemulihan trauma psikologis dan luka akibat konflik.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertema “Mendengar Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Aceh di Kafe D’Rodya Banda Aceh, Kamis (24/10). Diskusi yang menghadirikan sejumlah narasumber, termasuk dua korban konflik, Mudiyah dan Usman M Ali, dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh bekerja sama dengan AJAR (Asia Justice and Rights).
Pihak penyelenggara mengatakan, diskusi ini digelar rmasih dengan semangat melawan lupa dan menjaga spirit pengungkapan kebenaran oleh korban konflik dalam rangka keadilan transisi. Kepasrahan terhadap kondisi yang ada saat ini diungkap oleh Murdiyah, warga Desa Rambe, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. “Sekarang saya sudah pasrah. Saya sudah berusaha menemukan suami saya yang ditangkap paksa pada tahun 90-an lalu. Tapi sampai sekarang sama sekali tidak ada hasilnya. Saya tidak tahu apakah suami saya masih hidup atau sudah meninggal,” ungkap Murdiyah.
Murdiyah merupakan satu dari sekian banyak korban konflik dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh. Suaminya ditangkap paksa saat sedang jaga malam di pos ronda. Ia masih ingat betul setiap detil kejadian tiga belas tahun lalu yang membuatnya harus menjadi kepala keluarga, demi menghidupi anak-anaknya yang masih kecil. “Waktu itu tanggal 27 Agustus 1990, suami saya sedang jaga malam bersama warga lainnya. Tiba-tiba sekelompok orang datang dan membawa suami saya. Mereka mengatakan suami saya akan dikembalikan besok pagi. Tapi sampai sekarang suami saya hilang tak tahu kemana,” ujar wanita paruh baya ini.
Saat bercerita Murdiyah sesekali terdiam. Matanya berkaca-kaca. Nafasnya tak beraturan tatkala mengingat kisah pahit itu yang sampai sekarang masih terekam jelas dalam ingatannya. “Saat kejadian itu saya sedang hamil anak kelima dan usia kandungan saya baru dua bulan. Sekarang anak bungsu saya sudah tamat SMA. Ia terkadang menanyakan di mana ayahnya. Saya tidak bisa bilang apa-apa karena saya sendiri juga tidak tahu dimana suami saya sekarang. Kalau memang suami saya sudah meninggal. Saya hanya ingin tahu di mana ia dikuburkan. Itu saja,” ucap Murdiyah.
Ucapan itu seolah mengisyaratkan bahwa ia masih menunggu kepastian akan keberadaan orang yang dicintainya itu. Meski tiga belas tahun telah berlalu sejak peristiwa itu terjadi, ia masih berharap dapat bertemu dengan laki-laki yang telah memberinya lima orang anak itu. “Walaupun cuma kuburannya saja, saya ingin tahu sekarang suami saya di mana,” harap wanita itu.
***
KISAH duka akibat konflik di Aceh juga dialami seorang lelaki lain bernamaUsman M Ali (27). Pada 2002 dia ditangkap paksa sekelompok orang bersenjata. Kini rasa trauma akibat penangkapan dan penyiksaan itu begitu membekas pada pada diri Usman. “Dia waktu itu ditangkap paksa saat sedang makan siang, alasannya karena ia membiayai GAM. Padahal dia sama sekali tidak tahu apa-apa. Hanya karena ia tidak lagi bersekolah maka dia dianggap sebagai salah satu dari kelompok separatis itu,” kata Mukhlis, pendamping Usman.
Cerita duka yang dialami Murdiyah dan Usman adalah potret kecil dari kondisi korban konfik di Aceh yang jumlah mencapai ribuan orang. Namun mereka kini terabaikan dan seolah tersisihkan dari perhatian pemerintah setelah Aceh berdamai dan keluar dari pusaran konflik pasca penandanganan MoU Helsinki. Sampat saat ini DPR Aceh masih terus berkutat dengan Rancangan Qanun KKR. Sebuah aturan hukum yang diharapkan dapat membantu proses rekonsiliasi dan rehabilitasi para korban konflik. Semestinya KKR dalam UUPA sudah dibentuk setelah satu tahun diundangkan.
Ketua Komisi A DPR Aceh Adnan Beuransyah mengatakan DPR Aceh komit melahirkan qanun yang sekarang sedang dalam proses pembahasan tersebut. “Kita tentunya berharap dengan lahirnya qanun KKR ini dapat mencari solusi minimal kebenaran sejarah yang terjadi di Aceh. Komisi A berusaha membuat qanun KKR ini secara permanen, bukan ad hoc (sementara),” katanya. Murdiyah dan Usman hanya bisa pasrah, berharap akan ada secercah harapan untuk mereka agar bisa hidup tanpa dibayangi kembali rasa trauma masa lalu.(sri wahyuni)

Semoga tulisan dari seorang ibu satu anak ini bermanfaat. Terima kasih untuk sobat yang sudah berkunjung ke rumah mungil saya. Komentar kalian semangat saya. Kalau ada saran dan masukan jangan segan untuk disampaikan. Dengan senang hati akan ditanggapi. Happy reading guys.^^
COMMENTS