HINGAR bingar Pemilu 2014 telah berakhir. Namun, pesta demokrasi rakyat itu masih menyisakan berbagai cerita. Kini babak pemilu di Aceh...
HINGAR bingar Pemilu 2014 telah berakhir. Namun, pesta demokrasi rakyat itu masih menyisakan berbagai cerita. Kini babak pemilu di Aceh semakin menuju arah yang lebih pelik. Salah satunya soal gugatan dan tudingan berbagai kecurangan yang disuarakan berbagai kalangan, seperti para caleg dan parpol, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Kondisi ini justru semakin memperparah potret buram pelaksanaan Pemilu 2014 di Aceh yang sarat masalah.
“Berbagai temuan pelanggaran pemilu ini dengan sendirinya justru mencederai proses demokrasi sehingga pemilu di Aceh tak bisa dikatakan sukses. Sampai sekarang aparat penegak hukum belum bekerja sebagaimana mestinya mengusut semua kasus pelanggaran ini,” kata Koodinator Program Pemantauan dan Pendidikan Politik pada Aceh Civil Society Task Force (ACSTF), Ilham Saputra pada diskusi publik bertajuk “Kilas Balik Penyelenggaraan Pemilu di Aceh”, di Kafe D’Rodya, Banda Aceh, Senin (28/4).
Sorotan tentang indikasi kecurangan pemilu di Aceh terus mengalir, misalnya, dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Aceh, Masyarakat Trasparansi Aceh (MaTA), Konsorsium Pemilu Bersih Aceh (KPBA), dan Jaringan Pemilu Aceh (JPA) merilis sedikitnya ada 96 temuan pelanggaran yang terjadi selama pelaksanaan pileg di Aceh tahun ini. Bahkan beberapa di antara kasus pelanggaran pemilu ini justru diduga melibatkan para caleg. Sebagian besar kasus tersebut seolah tanpa ada proses dan penindakan yang tegas. Para pengawas pemilu dan aparat penegak hukum pun seperti tak bernyali menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
“Dibutuhkan keseriusan aparat penegak hukum untuk mengusutnya,” kata Ilham, mantan wakil ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Sementara data yang dirilis LSM MaTA, dari 42 temuan pelanggaran pemilu, 25 kasus berupa politik uang dan 17 kasus lainnya berupa penyalahgunaan fasilitas negara. Besar kemungkinan jumlah kasus pelanggaran pemilu ini bertambah. Sebab, selain MaTA, KPBA, dan JPA, masih ada beberapa lembaga lain yang juga ikut memantau.
Temuan pelanggaran itu, antara lain, terkait dengan dana kampanye, politik uang, penyalahgunaan fasilitas negara, pencoblosan sebelum waktunya, ketidaknetralan penyelenggara pemilu, penggelembungan suara, dan gugatan hasil pemilu oleh peserta pemilu. Tidak hanya soal pelanggaran administratif dan pidana, pemilu kali ini juga sarat diwarnai catatan hitam. Lebih dari tiga nyawa dari masyarakat sipil ikut menjadi korban selama konflik pemilu, jauh sebelum hari pelaksanaan pemilu. Ironisnya, hingga hari ke-19 pascapemilu dilaksanakan (28/4), tak ada satu pun kasus yang berhasil diungkap aparat kepolisian. Kasus-kasus yang terjadi sebelum pelaksanaan pemilu itu pun seolah tenggelam dengan adanya penemuan pelanggaran baru pascapemilu 9 April. Potret buram Pemilu 2014 ini mengundang keprihatinan dari pengamat poltik dan hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), M Jafar SH MHum.
“Pemilu 2014 pemilu yang paling buruk. Hal itu ditandai dengan banyaknya pelanggaran yang terjadi dibandingkan pemilu sebelumnya,” kata Jafar saat menjadi pembicara dalam acara itu di Kafe D’Rodya kemarin.
Dia juga menyebutkan tingkat partisipasi masyarakat dalam melaporkan pelanggaran ini masih sangat minim, sehingga banyak temuan pelanggaran yang tak bisa ditindaklanjuti.
Pakar Hukum dan Pemerintahan dari Fakultas Hukum Unsyiah, Mawardi Ismail SH MHum yang turut hadir dalam diskusi kemarin berpendapat berbagai karut marut selama Pemilu 2014 terjadi karena diawali dengan ada tolak tarik kepentingan di tingkat lapisan pengambil kebijakan.
Karena itu, dia usulkan agar pemilihan anggota KIP dan Bawaslu ke depan tidak dilakukan lagi oleh DPRA. “Karena kalau dipilih secara sepihak, maka tidak akan balance. Makanya lebih bagus apabila pemilihan anggota KIP dilakukan seperti pemilihan anggota KPU pusat, dengan melibatkan pihak ketiga,” ujarnya.
Menurut Mawardi, mekanisme perekrutan anggota KIP seperti ini dipandang penting untuk menjaga netralitas penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya. “Netralitas dan ketidakberpihakan penyelenggara pemilu kepada peserta pemilu sangat dituntut demi terlaksananya pemilu yang demokratis, sehingga menghasilkan anggota dewan yang berkualitas,” ujarnya.
Meski begitu, fakta di lapangan bebicara bahwa Pemilu 2014 di Aceh memang telah menorehkan berbagai catatan hitam, mulai dari korban nyawa hingga banjir gugatan setelah pesta usai. (sri wahyuni)

Semoga tulisan dari seorang ibu satu anak ini bermanfaat. Terima kasih untuk sobat yang sudah berkunjung ke rumah mungil saya. Komentar kalian semangat saya. Kalau ada saran dan masukan jangan segan untuk disampaikan. Dengan senang hati akan ditanggapi. Happy reading guys.^^
COMMENTS