Aceh, provinsi paling ujung Barat Indonesia yang terdiri dari 23 kabupaten/kota ini memiliki keanekaragaman adat istiadat dan budaya. Salah...
Aceh, provinsi paling ujung Barat Indonesia yang terdiri dari 23 kabupaten/kota ini memiliki keanekaragaman adat istiadat dan budaya. Salah satunya tradisi tujuh bulanan atau dalam Bahasa Aceh disebut keumaweuh. Tradisi ini dikhususkan bagi wanita hamil yang usia kandungannya memasuki tujuh bulan. Saya sendiri sudah menjalani adat ini karena memang sekarang usia kandungan saya sudah genap tujuh bulan. Dari jauh-jauh hari, ibu mertua saya sering menanyakan sudah berapa bulan saya hamil. Beliau mengatakan jika sudah waktunya nanti (7 bulan) keluarga pihak suami jak jok bu (memberi nasi) ke pihak keluarga istri.
Meski disebut acara jok bu (memberi nasi), tapi yang dibawa tidak hanya nasi putih saja, tapi lengkap dengan lauk dan penganan lainnya. Pun nasi yang dibawa harus dikulah atau dibungkus dengan daun pisang. Di Aceh nasi yang dibungkus daun pisang ini disebut bu kulah. Menu pendamping nasi hampir sama dengan menu pada pesta perkawinan kebanyakan. Di antaranya ada rendang, masak putih, masak mirah, kuah sayur, tumis udang, dan lain-lain. Jenis dan jumlah hidangannya disesuaikan dengan kemampuan si empunya hajatan.
Menu lain yang biasanya selalu menyertai nasi dan lauk saat keumaweuh adalah buah-buahan dan rujak. Saya sendiri juga kurang paham soal asal muasal adat ini, dan mengapa harus ada buah-buahan dan rujak. Tapi yang pasti semua makanan ini lezat dan nikmat saat disantap.
Prosesi adat lainnya saat keumaweuh ini adalah pasangan yang tengah berbahagia menanti kelahiran anak pertama yaitu saya dan suami didudukkan bersanding beralaskan sebuah kasur untuk dipeusijuk. Yang mempeusijuk adalah rombongan pihak keluarga suami. Namun sebelum dipeusijuk, para tamu rombongan dipersilahkan menyantap jamuan makanan yang sudah disediakan keluarga pihak istri. Wah, jadi tambah banyak makanan yang tersedia karena kedua belah pihak sama-sama memasak untuk acara tujuh bulanan ini.
Saat dipeusijuk, beberapa orang perwakilan dari keluarga suami (tidak semua mempeusijuk) berdoa demi kesehatan dan keselamatan saya dan bayi saya hingga lahiran nanti. Termasuk ibu mertua dan kakak ipar saya. Senang rasanya bisa ikut merasakan setiap prosesi adat di Aceh. Tapi bloggers, perlu diketahui jika adat istiadat di setiap daerah di Aceh berbeda-beda. Kebetulan saya dan suami sama-sama berdomisili di Banda Aceh (meski ayah saya kelahiran Aceh Pidie), sehingga adat yang kami jalankan sudah tidak terlalu kental seperti di kampung-kampung. Tapi yang namanya adat istiadat pastilah tetap harus dijaga. Selain untuk tetap mempertahankan dan menjaga maruah Aceh, juga agar jalinan silaturahmi dan tali persaudaraan antarsesama terus terjaga.
Meski disebut acara jok bu (memberi nasi), tapi yang dibawa tidak hanya nasi putih saja, tapi lengkap dengan lauk dan penganan lainnya. Pun nasi yang dibawa harus dikulah atau dibungkus dengan daun pisang. Di Aceh nasi yang dibungkus daun pisang ini disebut bu kulah. Menu pendamping nasi hampir sama dengan menu pada pesta perkawinan kebanyakan. Di antaranya ada rendang, masak putih, masak mirah, kuah sayur, tumis udang, dan lain-lain. Jenis dan jumlah hidangannya disesuaikan dengan kemampuan si empunya hajatan.
Menu lain yang biasanya selalu menyertai nasi dan lauk saat keumaweuh adalah buah-buahan dan rujak. Saya sendiri juga kurang paham soal asal muasal adat ini, dan mengapa harus ada buah-buahan dan rujak. Tapi yang pasti semua makanan ini lezat dan nikmat saat disantap.
Prosesi adat lainnya saat keumaweuh ini adalah pasangan yang tengah berbahagia menanti kelahiran anak pertama yaitu saya dan suami didudukkan bersanding beralaskan sebuah kasur untuk dipeusijuk. Yang mempeusijuk adalah rombongan pihak keluarga suami. Namun sebelum dipeusijuk, para tamu rombongan dipersilahkan menyantap jamuan makanan yang sudah disediakan keluarga pihak istri. Wah, jadi tambah banyak makanan yang tersedia karena kedua belah pihak sama-sama memasak untuk acara tujuh bulanan ini.
Saat dipeusijuk, beberapa orang perwakilan dari keluarga suami (tidak semua mempeusijuk) berdoa demi kesehatan dan keselamatan saya dan bayi saya hingga lahiran nanti. Termasuk ibu mertua dan kakak ipar saya. Senang rasanya bisa ikut merasakan setiap prosesi adat di Aceh. Tapi bloggers, perlu diketahui jika adat istiadat di setiap daerah di Aceh berbeda-beda. Kebetulan saya dan suami sama-sama berdomisili di Banda Aceh (meski ayah saya kelahiran Aceh Pidie), sehingga adat yang kami jalankan sudah tidak terlalu kental seperti di kampung-kampung. Tapi yang namanya adat istiadat pastilah tetap harus dijaga. Selain untuk tetap mempertahankan dan menjaga maruah Aceh, juga agar jalinan silaturahmi dan tali persaudaraan antarsesama terus terjaga.

Semoga tulisan dari seorang ibu satu anak ini bermanfaat. Terima kasih untuk sobat yang sudah berkunjung ke rumah mungil saya. Komentar kalian semangat saya. Kalau ada saran dan masukan jangan segan untuk disampaikan. Dengan senang hati akan ditanggapi. Happy reading guys.^^
COMMENTS